Sabtu, 24 Maret 2012

ALIRAN-ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN


BAB I
PENDAHULUAN
­­­­­­
Dalam pandangan Islam, pendidikan sangat mempengaruhi dalam memberi corak hitam putihnya perjalanan hidup seseorang. Oleh karena itu ajaran Islam menetapkan bahwa pendidikan merupakan kewajiban bagi pria dan wanita dan berlangsung seumur hidup, semenjak dari buaian hingga ajal datang.
Kedudukan tersebut secara tidak langsung telah menempatkan pendidikan sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan hidup dan kehidupan manusia. Dalam hal ini Dewey berpendapat bahwa, pendidikan sebagai salah satu kebutuhan hidup (a necessity of life), salah satu fungsi sosial (a sosial function), sebagai bimbingan (a divertion), sebagai sarana pertumbuhan (a means of grouth), yang mempersiapkan dan membukakan serta membentuk disiplin hidup.[1]
Dengan demikian pendidikan menyandang misi keseluruhan aspek kebutuhan hidup dan sejalan dengan dinamika serta perubahan-perubahan yang terjadi. Sebagai akibat logisnya, maka pendidikan senantiasa mengandung pemikiran dan kajian baik secara konseptual dan operasionalnya, sehingga diperoleh relevansi dan kemempuan menjawab tantangan serta memecahkan masalah-masalah yang dihadapi oleh umat manusia.
Dengan menganalisa berbagai filsafat, seperti filsafat Yunani, Barat, dan lainnya maka muncullah berbagai macam disiplin ilmu dengan menggunakan analisa filsafat. Sehingga berbagai macam disiplin ilmu pengetahuan yang berkembang sekarang ini menemukan kembali relevansinya dan berkemampuan untuk menjawab tantangan serta memecahkan masalah-masalah yang dihadapi oleh umat manusia.
Begitu juga halnya dalam lapangan pendidikan. Demi menjaga relevansinya dalam kehidupan masyarakat dan lebih mampu lagi meningkatkan fungsinya bagi kesejahteraan hidup masyarakat, maka lahirlah filsafat pendidikan yang merupakan cabang filsafat sebagai pembantu dalam memecahkan masalah-masalah, khususnya dalam lapangan pendidikan.
A.    Tujuan
Supaya mahasiswa mengerti dan mampu memahami aliran-aliran dalam Dunia Filsafat Pendidikan dan juga menjadi ilmu yang bermamfaat bagi mahasiswa.

B.     Rumusan Masalah
Yang menjadi permasalahanya disini adalah, menjelaskan tentang aliran-aliran yang ada dalam filsafat Pendidikan atau bahasan tentang aliran :
1.      Progessivisme
2.      Essensialisme
3.      Perenialisme
4.      Rekontruksionisme.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Latar Belakang Munculnya Aliran-Aliran Filsafat Pendidikan

Filsafat diakui sebagai induk ilmu pengetahuan (the mother of science) yang mampu menjawab segala pertanyaan tentang berbagai masalah yang berhubungan dengan alam semesta, manusia dengan segala problematikanya dalam kehidupan. Kemudian karena semakin berkembangya pemikiran manusia, banyak problema yang tidak bisa dijawab oleh filsafat, maka lahirlah ilmu pengetahuan dalam bentuk disiplin ilmu dengan keterkhususannya masing-masing sehingga sanggup menjawab atas problematika perkembangan metodologi yang semakin pesat.[2]
Setiap disiplin ilmu memilliki objek dan sasaran yang berbeda-beda, serta mengurus dan mengembangkan bidang garapan sendiri-sendiri dengan tidak memperhatikan hubungan dengan bidang yang lainnya. Akibatnya terjadi pemisahan antara berbagai macam bidang ilmu. Ilmu pengetahuan semakin kehilangan relevansinya dalam kehidupan masyarakat dan umat manusia dengan problematikanya.
Dengan menganalisa berbagai filsafat, ilmu pengetahuan dapat menemukan kembali relevansinya dalam kehidupan masyarakat dan akan lebih mampu lagi meningkatkan fungsinya bagi kesejahteraan hidup masyarakat.
Filsafat adalah usaha orang untuk memahami dunia dan hidup ini, sedangkan filsafat pendidikan adalah ilmu yang pada hakikatnya jawaban dari pertanyaan-pertanyaan dalam lapangan pendidikan.
Pada mulanya filsafat adalah induk dari segala cabang ilmu pengetahuan yang ada, namun karena banyak permasalahan yang tidak dapat dijawab lagi oleh filsafat sendiri, maka lahirlah cabang ilmu yang lain untuk menjawab segala macam permasalahan yang timbul. Diantara permasalahan-permasalahan yang timbul dan tidak dapat dijawab lagi oleh filsafat sendiri, yaitu permasalahan yang timbul/terjadi di lingkungan pendidikan. Oleh karena itu lahirlah filsafat pendidikan yang merupakan cabang filsafat sebagai pembantu dalam memecahkan masalah-masalah yang tidak dapat terpecahkan sendiri oleh filsafat, khususnya dalam lapangan pendidikan.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa yang melatarbelakangi munculnya filsafat pendidikan adalah banyaknya perubahan-perubahan dan permasalahan-permasalahan yang timbul di lapangan pendidikan yang tidak mampu dijawab sendiri oleh filsafat. Selain itu, yang melatarbelakangi munculnya filsafat pendidikan adalah banyaknya ide-ide baru dalam dunia pendidikan. Adapun datangnya ide-ide tersebut diantaranya berasal dari tokoh-tokoh filsafat Yunani.[3]
Filsafat sebagai hasil pemikiran para ahli filsafat telah melahirkan berbagai macam pandangan/ide yang salah satunya ialah lahirnya pandangan tentang filsafat pendidikan. Begitu pula halnya dengan filsafat pendidikan bahwa dalam sejarahnya telah melahirkan berbagai pandangan atau aliran.
Karena kesimpulan filsafat tidak pernah dapat titik ujung, maka setiap keputusan atau kesimpulan yang diperoleh tidak pernah merupakan kesimpulan final. Sebab itu, dunia percaturan filsafat (termasuk filsafat pendidikan) seringkali hanya berkisar pada permasalahan-permasalahan yang sama, baik sebagai suatu bentuk persetujuan ataupun penolakan terhadap kesimpulan yang ada.

1.      PROGRESSIVISME

Aliran Progressivisme, progress (maju) adalah sebuah faham filsafat yang lahir dan sangat berpengaruh dalam abad ke-20. Aliran filsafat ini kelahiran Amerika dan pengaruhnya terasa di seluruh dunia yang mendorong usaha pembaharuan di dalam lapangan pendidikan
Aliran ini bukan merupakan bangunan filsafat atau aliran filsafat yang berdiri sendiri, melainkan merupakan suatu gerakan dan perkumpulan yang didirikan pada tahun 1918. Aliran ini berpendapat bahwa pengetahuan yang benar pada masa kini mungkin tidak benar di masa mendatang. Pendidikan harus terpusat pada anak bukannya memfokuskan pada guru atau bidang muatan.[4]
Pada dasarnya aliran ini memandang bahwa pendidikan adalah sebagai wadah untuk menjadikan anak didik yang memiliki kualitas dan terus maju (progress) sebagai generasi yang akan menjawab tantangan zaman peradaban baru. Melalui pandangannya ”The Liberal Road Culture”, maksudnya ialah pandangan hidup yang mempunyai sifat-sifat fleksibel, curious, toleran dan open-minded, serta menolak segala otoritarisme dan absolutisme seperti yang terdapat dalam agama, politik, etika dan epistemologi. Dan pandangannya tentang menaruh kepercayaan terhadap kekuatan alamiah dari manusia yang diwarisi sejak lahir (men’s natural powers), sehingga manusia merupakan makhluk biologis yang utuh dan menghormati harkat dan martabat manusia sebagai pelaku/subyek di dalam hidupnya. Dengan pandangan-pandangannya tersebut, aliran progressivisme memiliki kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan, yang meliputi : ilmu hayat (manusia untuk mengetahui semua masalah kehidupan), antropologi (manusia mempunyai pengalaman, pencipta budaya, dengan demikian dapat mencari hal baru), psikologi (manusia akan berpikir tentang dirinya sendiri, lingkungan dan pengalaman-pengalamannya, dan dapat menguasai serta mengatur sifat-sifat alam).
Aliran ini menyadari dan mempraktekkan asas eksperimen Aliran Progressivisme mengakui dan berusaha mengembangkan asas progresivisme dalam semua realita kehidupan. Agar manusia bisa selamat menghadapi semua tantangan hidup. Dinamakan instrumentalisme, karena aliran ini beranggapan bahwa kemampuan inteligensi manusia sebagai alat untuk hidup, untuk kesejahteraan dan untuk mengembangkan kepribadian manusia. Dinamakan eksperimentalisme”, untuk menguji kebenaran suatu teori. Dinamakan environmentalisme, karena aliran ini menganggap lingkungan hidup itu mempengaruhi pembinaan kepribadian.
Aliran progresivisme memiliki kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan meliputi ilmu hayat, antropologi, dan juga psikologi. Adapun tokoh-tokoh aliran progresivisme ini, antara lain adalah William James, John Dewey, Hans Vaihinger, Ferdinant Schiller, dan George Santayana.[5]
William James berkeyakinan bahwa otak atau pikiran, seperti juga aspek dari eksistensi organik. Harus mempunyai fungsi biologis dan nilai kelanjutan hidup. Dia menegaskan agar fungsi otak atau pikiran itu dipelajari sebagai bagian dari mata pelajaran pokok dari ilmu pengetahuan alam. Disini, James berusaha membebaskan ilmu jiwa dari prakonsepsi teologis yang menemparkannya diatas dasar ilmu perilaku.
John dewey, ide filsafatnya yang utama berkisar dalam problemapendidikan yang konkret,baik teori maupun praktek. Reputasi internasionalnya terletak dalam sumbangan pemikirannya terhadap filsafat pendidikan progresivisme Amerika. Menurut John S .Brubacher,filsafat progresivismebermuara pada aliran filsafatpragmatisme yang diperkenalkan oleh William James dan John Dewey,yang menitik beratkan pada segi manfaat bagi hidup praktis. Filsafat progresivisme dipengaruhi oleh ide-ide dasar filsafat praghmatisme yang telah memberikan konsep dasar asas yang utama,bahwa agar manusia bisa selamat menghadapi semua tantangan hidup, manusia harus pragmatis memandang kehidupan.
Aliran filsafat progresivisme telah memberikan sumbangan yang besar didunia pendidikan pada abad ini. Aliran ini telah meletakkan dasar-dasar kemerdekaan dan kebebasan kepada anak didik.Anak didik diberikan kebebasan baik secarafisik maupun cara berfikir,guna mengembangkan bakat dan kemampuan yang terpendam didalam dirinya tanpa terhambat oleh rintangan-rintangan yang dibuat oleh orang lain.
Untuk itu,sangat diperlukan kurikulum yang berpusat pada pengalaman atau kurikulum eksperimental,yaitu kurikulum yang berpusat pada pengalaman yang telah diperoleh anak didik selama disekolah dan dapat diterapkan dalam kehidupan nyatanya. Dengan metode pendidikan “belajar sambil berbuat” (learning by doing) dan pemecahan masalah(problem solving)dengan langkah-langkah menghadapi problem,mengajukan hipotesis.
Progressivisme menghendaki jenis kurikulum yang terbuka dan fleksibel, jadi kurikulum tersebut bisa dirubah dan dibentuk sesuai dengan zamannya. Kurikulum dipusatkan pada pengalaman atau kurikulum eksperimental didasarkan atas manusia dalam hidupnya selalu berinteraksi di dalam lingkungan yang komplek, sehingga ia memerlukan kemampuan beradaptasi dengan lingkungan demi kelestarian hidupnya dan perkembangan pribadinya. Oleh karena itu manusia harus belajar dari pengalaman. Pengalaman-pengalaman itu diperoleh sebagai akibat dari belajar. Anak didik yang belajar di sekolah akan mendapatkan pengalaman-pengalaman dari lingkungan, di sekolah akan mendapatkan pengalaman-pengalaman yang dapat diterapkan sesuai dengan kebutuhan umum.
   Aliran ini tidak menghendaki adanya mata pelajaran yang diberikan secara terpisah, melainkan harus terintegrasi dalam unit. Dengan demikian kurikulum eksperimental mengandung ciri integrated curriculum, metode yang diutamakan yaitu metode problem solving.
John Dewey telah mengemukakan dan menerapkan metode problem solving ke dalam proses pendidikan, melakukan perubahan atau inovasi dari bentuk pengajaran tradisional di mana adanya verbalisme pendidikan. Di sini anak didik dituntut untuk dapat memfungsikan akal dan kecerdasannya dengan jalan dihadapkan pada materi-materi pelajaran yang menantang siswa untuk terlibat aktif dalam proses belajar mengajar. Siswa dituntut dapat berpikir ilmiah seperti menganalisa, melakukan hipotesa dan menyimpulkannya dan penekanannya kepada kemampuan intelektualnya.
W.H. Kilpatrik (yang mengembangkan metode problem solving) mengemukakan tentang kurikulum yang dianggap baik terdiri dari :
·         Kurikulum harus dapat meningkatkan kualitas anak didik sesuai dengan jenjang pendidikan.
·         Kurikulum yang dapat mengubah perilaku anak didik menjadi kreatif, adaptif dan mandiri.
·         Kurikulum yang sanggup membina dan mengembangkan potensi anak didik.
·         Kurikulum bersifat fleksibel dan berisi tentang berbagai macam bidang studi.
­­­­
Melalui proses pendidikan dengan menggunakan kurikulum yang bersifat integrated curriculum, metode “lerning by doing” dan metode “problem solving” diharapkan anak didik menjadi maju (progress), mempunyai kecakapan praktis dan dapat memecahkan masalah sosial sehari-hari dengan baik.[6]

2.      ESSENSIALISME
Essensialisme berasal dari kata essensial yang berarti sifat-sifat dasar atau dari kata esesnsi (pokok).[7]Essensialisme mempunyai pandangan bahwa pendidikan sebagai pemelihara kebudayaaan. Aliran ini ingin kembali kepada kebudayaan lama, warisan sejarah yang telah membuktikan kebaikan-kebaikan bagi kehidupan manusia.[8]
Aliran ini berpedoman pada peradaban sejak zaman Renaissance. Pada zaman Renaissance telah berkembang dengan megahnya usaha-usaha untuk menghidupkan kembali ilmu pengetahuan dan kesenian serta kebudayaan purbakala, terutama di zaman Yunani dan Romawi. Dalam zaman Renaissance muncul tahap-tahap pertama dari pemikiran essensialis yang berkembang selanjutnya sepanjang perkembangan zaman Renaissance itu sendiri. Pada zaman modern sekarang ini dikembangkan lagi oleh para pengikut dan simpatisan ajaran aliran filsafat tersebut, sehingga menjadi aliran filsafat yang teguh berdiri sendiri, yang mempunyai ciri-ciri utama yang berbeda dengan aliran progressivisme.
Perbedannya yang utama adalah memberikan dasar berpijak pada pendidikan yang penuh fleksibilitas, di mana serba terbuka untuk perubahan, toleran dan tidak ada keterkaitan dengan doktrin tertentu. Essensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memilki kejelasan dan tahan lama, yang memberikan kestabilan dan nilai-nilai terpilih yang tertata dan jelas.
Paham filsafat idealisme Plato dan paham filsafat idealisme Aristoteles adalah dua aliran pikiran yang membentuk konsep-konsep berpikir golongan essensialisme. Jadi pandangan filsafat essensialisme meramu dan menampung kedua aliran filsafat itu (tetapi tidak lebur jadi satu dan tidak melepaskan sifat yang utama pada masing-masing), yang kemudian mereka terapkan pula dalam bidang pendidikan.
Essensialisme didasari atas pandangan humanisme yang merupakan reaksi terhadap hidup yang mengarah keduniawian, serba ilmiah dan materialistik. Selain itu juga diwarnai oleh pandangan-pandangan dari paham penganut idealisme yang bersifat spiritual dan realisme yang titik berat tujuannya adalah mengenai alam dan dunia fisik. Adapun beberapa tokoh utama yang berperan dalam penyebaran essensialisme, yaitu :
·           Desiderius Erasmus (akhir abad 15)
·           Johan Amos Comenius (1592-1670)
·           John Locke (1632-1704)
·           Johan Heinrich Pestalozzi (1746-1827)
·           Johan Friedrich Frobel (1782-1852)
·           Johan Friedrich Herbert (1776-1841)
·           William T. Harris (1835-1909).[9]
Pada tahun 1930 telah didirikan suatu organisasi bernama “Essentialists Committee for Advancement of Education”, dalam rangka mempertahankan paham essensialisme, khususnya dari persaingan dengan aliran progressivisme. Dan pada tahun 1950-an, di Amerika didirikan sebuah organisasi yang disebut dengan dewan untuk pendidikan dasar (council for basic education) yang merupakan jawaban terhadap apa yang dirasakan oleh sebagian para ahli pendidikan, dengan adanya kecurangan-kecurangan yang terjadi berangsur-angsur dalam tubuh pendidikan Amerika, disebabkan timbulnya yang disebut “peniddikan progressive”.
Tujuan umum aliran progressivisme adalah membentuk pribadi bahagia dunia dan akhirat. Isi pendidikannya mencakup ilmu pengetahuan, kesenian dan segala hal yang mempu menggerakkan kehendak manusia. Kurikulum yang digunakan di sekolah bagi essensialisme merupakan semacam miniatur dunia yang bisa dijadikan sebagai ukuran kenyataan, kebenaran dan kegunaan. Maka dalam sejarah perkembangannya, kurikulum essensialisme merupakan bagian pola kurikulum, seperti pola idealisme. Butler mengemukakan bahwa sejumlah anak untuk setiap angkatan baru haruslah dididik untuk mengetahui dan mengagumi kitab suci, sedangkan Demih Kevich menghendaki agar kurikulum berisikan moralitas yang tinggi. Ataupun pola kurikulum realisme, yang mengumpamakan kurikulum sebagai balok-balok yang disusun dengan teratur satu sama lain yaitu disusun dari paling sederhana sampai kepada yang komplek. Susunan ini dapat diutarakan ibarat sebagai susunan dari alam, yang sederhana merupakan fundamen atau dasar dari susunannya yang paling komplek. Jadi bila kurikulum disusun atas dasar pikiran yang demikian akan bersifat harmonis. Dengan demikian, peranan sekolah dalam menyelenggarakan pendidikan bisa berfungsi sesuai dengan prinsip-prinsip dan kenyataan sosial yang ada di masyarakat.
Menurut Essensialisme pendidikan harus didasarkan pada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia, kebudayaan yang mereka wariskan kepada kita hingga sekarang telah teruji oleh segala zaman, kondisi dan sejarah. Kebudayaan yang demikian adalah esensi yang mampu pula mengemban hari kini dan masa depan umat manusia. Kebudayaan sumber itu tersimpul dalam ajaran para filosof, ahli-ahli pengetahuan yang besar, yang ajaran dan nilai-nilai ilmu mereka bersifat menetap.
Menurut essensialisme kebudayaan modern sekarang terdapat kesalahan, yaitu kecendrungannya, bahkan gejala-gejala penyimpangannya dari jalan lurus yang telah ditanamkan kebudayaan warisan. Fenomena-fenomena sosial-kultural yang tidak kita inginkan sekarang, hanya dapat diatasi dengan kembali secara sadar melalui pendidikan, yaitu kembali kejalan yang telah ditetapakan itu, dalam hal pendidikan oleh essensialisme menyebutkan “Education as cultural conservation”.
Adapun para pemikir basar yang telah dianggap sebagai peletak dasar asas-asas filsafat aliran ini, terutama yang hidup pada zaman klasik ; Plato, Aristoteles, Demakritos. Plato sebagai bapak obyektive idealisme dan juga sebagai peletak dasar teori modern dalam essensialisme. Sedangkan Aristoteles dan Demokritus, keduanya bapak obyektive realisme. Kedua ide itulah yang menjadi latar belakang thesis-thesis essensialisme.
3.      PERENIALISME
Perennialisme diambil dari kata perennial, yang artinya kekal atau abadi. Dari makna yang terkandung dalam kata itu, aliran perennialisme mengandung kepercayaan filasafat yang berpegang pada nilai-nilai dan norma-norma yang bersifat kekal abadi. Aliran filsafat ini termasuk pendukung yang kuat dari filsafat essensialisme. Pendiri utama dari filsafat ini adalah Aristoteles yang kemudian didukung dan dilanjutkan oleh Thomas Aquinas, sebagai reformer utama pada abad ke-13.
Dengan melihat kehidupan zaman modern telah menimbulkan banyak krisis, di bidang kehidupan umat manusia. Untuk mengatasi krisis ini, perennialisme memberikan jalan keluar berupa “regressive road to culture”. Oleh sebab itu perennialisme memandang penting peranan pendidikan dalam proses mengembalikan keadaan manusia zaman modern ini kepada kebudayaan masa lampau yang dianggap cukup ideal, untuk supaya sikap yang membanggakan kesuksesan dan memulihkan kepercayaan pada nilai-nilai asasi masa silam.
Asas-asas filsafat perennialisme bersumber pada dua filsafat kebudayaan, yaitu perennialisme theologis, yang ada dalam pengayoman supremasi gereja Katolik, khususnya menurut ajaran dan interpretasi Thomas Aquinas, dan perennialisme sekuler, yakni yang berpegang teguh pada ide dan cita filosofis Plato dan Aristoteles.
Pandangan-pandangan Thomas Aquinas sangat berpengaruh dalam lingkungan gereja Katolik. Demikian pula dalam pandangan-pandangan aksiomatis lain seperti yang diutarakan oleh Plato dan Aristoteles. Selain itu juga semuanya mendasari konsep filsafat pendidikan perennialisme.
Di bidang pendidikan, perennialisme sangat dipengaruhi oleh tokoh-tokohnya seperti Plato, Aristoteles dan Thomas Aquinas. Dalam hal ini, pokok pikiran Plato tentang ilmu pengetahuan dan nilai-nilai adalah menifestasi daripada hukum yang universal, yang abadi dan sempurna, yakni ideal. Sehingga ketertiban sosial hanya akan mungkin bila ide itu menjadi ukuran, asas normatif dalam tata pemerintahan. Maka tujuan utama pendidikan ialah membina pemimpin yang sadar dan mempraktekkan asas-asas yang normatif itu dalam semua aspek kehidupan.
Menurut Plato, manusia secara kodrati memiliki tiga potensi, yaitu nafsu, kemauan dan pikiran. Pendidikan hendaknya berorientasi pada ketiga potensi tersebut dan kepada masyarakat, agar supaya kebutuhan yang ada pada setiap lapisan masyarakat bisa terpenuhi. Ide-ide Plato itu dikembangkan oleh Aristoteles dengan lebih mendekatkan pada dunia kenyataan. Bagi Aristoteles tujuan pendidikan adalah kebahagiaan.
Untuk mencapai pendidikan itu, maka aspek jasmani, emosi, dan intelek harus dikembangkan secara seimbang.
Seperti halnya prinsip-prinsip Plato dan Aristoteles, tujuan pendidikan yang dikehendaki Thomas Aquinas adalah sebagai usaha untuk mewujudkan kapasitas yang ada dalam individu agar menjadi aktivitas, aktif dan nyata. Dalam hal ini peranan guru adalah mengajar (memberi bantuan pada anak didik untuk mengembangkan potensi-potensi yang ada pada diri anak didik).
Prinsip-prinsip pendidikan perennialisme tersebut, perkembangannya telah mempengaruhi sistem pendidikan modern, seperti pembagian kurikulum untuk sekolah dasar, menengah, perguruan tinggi dan pendidikan orang dewasa.
Perenialisme merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang lahir pada abad ke 20.[10] Perenialisme lahir sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Mereka menentang pandangan progresivisme yang menekankan perubahan dan sesuatu yang baru. Perenialisme memandang situasi dunia dewasa ini penuh kekacauan, ketidakpastian, dan ketidakteraturan, terutama dalam kehidupan moral, intelektual dan sosio kultual. Oleh karena itu perlu ada usaha untuk mengamankan ketidakberesan tersebut, yaitu dengan jalan menggunakan kembali nilai-nilai atau prinsip-prinsip umum yang telah menjadi pandangan hidup yang kukuh, kuat dan teruji.,
Perenialisme memandang bahwa pendidikan harus didasari nilai-nilai kultural masa lampau (regresive road the cultural) oleh karena kehidupan modern saat sekarang banyak menimbulkan krisis dalam banyak bidang kehidupan. Masa lampau, terutama zaman abad pertengahan Eropa telah membuktikan keefektivan nilai-nilai ynag diamalkan dalam kehidupan. Nilai tersebut ternyata cukup ideal, tangguh dan teruji keberhasilannya dalam kehidupan manusia.
Watak umum perenialisme tersimpul dalam makna istilah yang menjadi nama aliran ini. Istilah “perenial” berarti “Everlasting” atau abadi. Kepercayaan filsafat perenialisme ialah nilai-nilai, norma-norma yang bersifat kekal abadi, bahkan keabadian, bahkan keabadian itu sendiri. Perenialisme mengambil analogi realita sosial budaya manusia, seperti realita sepohon bunga. Pohon bunga ini akan berguna musim demi musim, datang dan pergi secara tetap sepanjang tahun dan masa. Demikianlah pola perkembangan kebudayaan manusia, abad demi abad, era demi era, bahkan untuk selama-lamanya akan tetap mengulangi apa yang pernah dialaminya. Untuk perlu kembali kepada asas kebudayaan silam yang abadi itu.

4.      REKONSTRUKSIONISME
Kata rekonstruksionisme dalam bahasa Inggris “rekonstruct”, yang berarti menyusun kembali. Dalam konteks pendidikan, aliran ini adalah suatu aliran yangberusaha merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern.
Merupakan kelanjutan dari gerakan progresivisme. Gerakan ini lahir didasarkan atas suatu anggapan bahwa kaum progresif hanya memikirkan dan melibatkan diri dengan masalah-masalah masyarakat yang ada sekarang. Rekonstruksionisme dipelopori oleh George Count dan Harold Rugg pada tahun 1930, ingin membangun masyarakat baru, masyarakat yang pantas dan adil.
Aliran rekonstruksionisme dalam satu prinsip sependapat dengan perenialisme. Tetapi aliran rekontrusionisme tidak sependapat dengan cara yang ditempuh filsafat perenialisme. Rekonstruksionisme berusaha membina suatu konsensus yang paling luas dan paling mungkin tentang tujuan utama dan tertinggi dalam kehidupan manusia.
Rekonstruksionisme berusaha mencari kesempatan semua orang tentang tujuan utama yang dapat mengatur tata kehidupan manusia dalam suatu tata susunan baru seluruh lingkungannya. Dengan kata lain, rekonstruksionisme ingin merombak tata susunan yang lama, dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang sama sekali baru, melalui lembaga dan proses pendidikan.[11]
Tujuan ini hanya mungkin diwujudkan melalui usaha kerja sama, kerja sama semua bangsa-bangsa, penganut aliran ini yakni bahwa telah tumbuh kesadaran dan konsensus seperti dimaksud diseluruh dunia. Mereka percaya bahwa telah ada hasrat yang sama dari bangsa-bangsa tentang cita-cita yang tersimpul dalam ide rekonstruksionisme.
Aliran rekonstruksionisme berkeyakinan bahwa tugas penyelamatan dunia merupakan tugas semua umat manusia atau bangsa. Karenanya pembinaan kembali daya intelektual dan spiritual yang sehat akan membina kembali manusia melalui pendidikan yang tepat atas nilai dan norma yang benar pula demi generasi sekarang dan yang akan datang, sehingga terbentuk dunia baru dalam pengawasan umat manusia.
Kemudian aliran ini memiliki potensi bahwa masa depan suatu bangsa merupakan suatu dunia yang diatur, diperintah oelh rakyat secara demokratis dan bukan dunia yang dikuasai oleh golongan tertentu. Cita-cita demokrasi yang sungguh bukan hanya sekedar teori tetapi harus menjadi kenyataan, sehingga dapat diwujudkan suatu dunia dengan potensi-potensi teknologi, mampu meningkatkan kualitas kesehatan, kesejahteraan dan kemakmuran serta keamanan masyarakat tanpa membedakan warna kulit, keturunan, nasionalisme dan agama (kepercayaan).
           
BAB III
KESIMPULAN

Filsafat sebagai hasil pemikiran para ahli filsafat telah melahirkan berbagai macam pandangan/ide yang diantaranya ialah lahirnya pandangan tentang filsafat pendidikan. Begitu pula halnya dengan filsafat pendidikan, bahwa dalam sejarahnya telah melahirkan berbagai pandangan atau aliran.
Karena kesimpulan filsafat tidak pernah ditemui titik ujung, maka setiap keputusan atau kesimpulan yang diperoleh tidak pernah merupakan kesimpulan final. Diantara pandangan pokok tentang pendidikan menurut aliran-aliran pendidikan, yaitu :
1.    Progressivisme, memandang bahwa dengan proses pendidikan yang menggunakan integrated curriculum, metodelearning by doing dan problem solving, diharapkan anak didik menjadi maju (progress), mempunyai kecakapan praktis dan dapat memcahkan masalah sosial sehari-hari dengan baik.
2.    Essensialisme, memandang bahwa pendidikan adalah proses membentuk pribadi bahagia dunia dan akhirat. Maka dalam sejarahnya, kurikulum yang digunakan oleh essensialisme adalah pola kurikulum idealisme dan realisme. Dengan pola kurikulum seperti ini, diharapkan peranan sekolah dalam menyelenggarakan pendidikan bisa berfungsi sesuai dengan prinsip-prinsip dan kenyataan sosial yang ada di masyarakat.
3.    Perennialisme, memandang bahwa tujuan pendidikan adalah sebagai usaha mewujudkan kapasitas yang ada dalam individu agar menjadi aktualitas, aktif dan nyata. Prinsip-prinsip pendidikan perennialisme telah mempengaruhi sistem pendidikan modern, seperti pembagian kurikulum untuk sekolah dasar, menengah dan perguruan tinggi.
4.    Rekonstruksionisme, memandang bahwa tujuan pendidikan adalah untuk merombak tata susunan kebudayaan lama dan membangun tata hidup kebudayaan yang baru, melalui pembinaan daya intelektual dan spiritual yang sehat akan membina kembali manusia dengan pendidikan yang tepat atas nilai dan norma yang benar demi generasi sekarang dan yang akan datang, sehingga terbentuk dunia baru dalam pengawasan umat manusia.


DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Idi dan Jalaluddin, Filsafat PendidikanManusia, Ar-Ruzz Media.Jogjakarta : 2007.
Abdullah dan Jalaluddin. Filsafat Pendidikan, Gaya Media Pratama, Jakarta: 1997.
Amsal, Amri, Study Filsafat Pendidikan, Yayasan Pena, Banda Aceh :  2009.
A. Wiramihardja, Sutardjo, Pengantar Filsafat, Rafika Aditama , Bandung : 2006.
Hamdani Ali, MA. Filsafat Pendidikan, Kota Kembang, Yogyakarta: 1986.

Hasan Shadily dan M. Echols John,Kampus Inggris-Indonesia, Gramedia, Jakarta : 1983.
            Zuhairini,  Filsafat Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta: 1995.






[1]Hamdani Ali, MA. Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta :Kota Kembang,: 1986) hlm. 72
[2]Abdullah dan Jalaluddin. Filsafat Pendidikan, (Jakarta Gaya :Media Pratama 1997) hlm. 102
[3]Zuhairini,  Filsafat Pendidikan Islam,(Jakarta:Bumi Aksara, 1995) hlm. 47
[4]Amsal, Amri, Study Filsafat Pendidikan, (Banda Aceh : Yayasan Pena, 2009) hlm. 76
[5]Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan : Manusia, Filsafat dan Pendidikan, (Jogjakarta, Ar-Ruzz Media, 2007) hlm. 85.
[6]Abdullah Idi dan Jalaluddin , Filsafat Pendidika (Jogjakarta , Ar-Ruzz Media.: 2007.), hlm. 90.
[7]Hassan Shadilydan Jonh M. Echols, Kamus Inggris-Indonesia,  (Jakarta, Gramedia, 1983),hlm.218
[8]Amsal Amri, Studi Filsafa(Banda Aceh , Yayasan Pena : 2009)hlm. 65.
[9]Hamdani Ali, MA. Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta: Kota Kembang, 1986) hlm 86.

[10]Amsal, Amri, Study Filsafat Pendidikan, (Banda Aceh: Yayasan Pena, 2009) hlm 78

[11]Amsal Amri, Studi Filsafat (Banda Aceh , Yayasan Pena : 2009)…, hlm. 77.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar