BAB I
PENDAHULUAN
Dalam pandangan Islam, pendidikan sangat mempengaruhi dalam memberi corak
hitam putihnya perjalanan hidup seseorang. Oleh karena itu ajaran Islam
menetapkan bahwa pendidikan merupakan kewajiban bagi pria dan wanita dan
berlangsung seumur hidup, semenjak dari buaian hingga ajal datang.
Kedudukan tersebut secara tidak langsung telah menempatkan pendidikan
sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan hidup dan kehidupan manusia. Dalam
hal ini Dewey berpendapat bahwa, pendidikan sebagai salah satu kebutuhan hidup
(a necessity of life), salah satu fungsi sosial (a sosial function),
sebagai bimbingan (a divertion), sebagai sarana pertumbuhan (a means
of grouth), yang mempersiapkan dan membukakan serta membentuk disiplin
hidup.[1]
Dengan demikian pendidikan menyandang misi keseluruhan aspek kebutuhan
hidup dan sejalan dengan dinamika serta perubahan-perubahan yang terjadi.
Sebagai akibat logisnya, maka pendidikan senantiasa mengandung pemikiran dan
kajian baik secara konseptual dan operasionalnya, sehingga diperoleh relevansi
dan kemempuan menjawab tantangan serta memecahkan masalah-masalah yang dihadapi
oleh umat manusia.
Dengan menganalisa berbagai filsafat, seperti filsafat Yunani, Barat, dan
lainnya maka muncullah berbagai macam disiplin ilmu dengan menggunakan analisa
filsafat. Sehingga berbagai macam disiplin ilmu pengetahuan yang berkembang
sekarang ini menemukan kembali relevansinya dan berkemampuan untuk menjawab
tantangan serta memecahkan masalah-masalah yang dihadapi oleh umat manusia.
Begitu juga halnya dalam lapangan pendidikan. Demi menjaga relevansinya
dalam kehidupan masyarakat dan lebih mampu lagi meningkatkan fungsinya bagi
kesejahteraan hidup masyarakat, maka lahirlah filsafat pendidikan yang
merupakan cabang filsafat sebagai pembantu dalam memecahkan masalah-masalah,
khususnya dalam lapangan pendidikan.
A. Tujuan
Supaya mahasiswa
mengerti dan mampu memahami aliran-aliran dalam Dunia Filsafat Pendidikan dan
juga menjadi ilmu yang bermamfaat bagi mahasiswa.
B. Rumusan Masalah
Yang menjadi
permasalahanya disini adalah, menjelaskan tentang aliran-aliran yang ada dalam
filsafat Pendidikan atau bahasan tentang aliran :
1.
Progessivisme
2.
Essensialisme
3.
Perenialisme
4.
Rekontruksionisme.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Latar Belakang Munculnya Aliran-Aliran Filsafat
Pendidikan
Filsafat diakui sebagai induk ilmu pengetahuan (the mother of science)
yang mampu menjawab segala pertanyaan tentang berbagai masalah yang berhubungan
dengan alam semesta, manusia dengan segala problematikanya dalam kehidupan.
Kemudian karena semakin berkembangya pemikiran manusia, banyak problema yang
tidak bisa dijawab oleh filsafat, maka lahirlah ilmu pengetahuan dalam bentuk
disiplin ilmu dengan keterkhususannya masing-masing sehingga sanggup menjawab
atas problematika perkembangan metodologi yang semakin pesat.[2]
Setiap disiplin ilmu memilliki objek dan sasaran yang berbeda-beda, serta
mengurus dan mengembangkan bidang garapan sendiri-sendiri dengan tidak
memperhatikan hubungan dengan bidang yang lainnya. Akibatnya terjadi pemisahan
antara berbagai macam bidang ilmu. Ilmu pengetahuan semakin kehilangan
relevansinya dalam kehidupan masyarakat dan umat manusia dengan
problematikanya.
Dengan menganalisa berbagai filsafat, ilmu pengetahuan dapat menemukan
kembali relevansinya dalam kehidupan masyarakat dan akan lebih mampu lagi
meningkatkan fungsinya bagi kesejahteraan hidup masyarakat.
Filsafat
adalah usaha orang untuk memahami dunia dan hidup ini, sedangkan filsafat
pendidikan adalah ilmu yang pada hakikatnya jawaban dari pertanyaan-pertanyaan
dalam lapangan pendidikan.
Pada mulanya filsafat adalah induk dari segala cabang ilmu pengetahuan
yang ada, namun karena banyak permasalahan yang tidak dapat dijawab lagi oleh
filsafat sendiri, maka lahirlah cabang ilmu yang lain untuk menjawab segala
macam permasalahan yang timbul. Diantara permasalahan-permasalahan yang timbul
dan tidak dapat dijawab lagi oleh filsafat sendiri, yaitu permasalahan yang
timbul/terjadi di lingkungan pendidikan. Oleh karena itu lahirlah filsafat
pendidikan yang merupakan cabang filsafat sebagai pembantu dalam memecahkan
masalah-masalah yang tidak dapat terpecahkan sendiri oleh filsafat, khususnya
dalam lapangan pendidikan.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa yang melatarbelakangi
munculnya filsafat pendidikan adalah banyaknya perubahan-perubahan dan
permasalahan-permasalahan yang timbul di lapangan pendidikan yang tidak mampu
dijawab sendiri oleh filsafat. Selain itu, yang melatarbelakangi munculnya
filsafat pendidikan adalah banyaknya ide-ide baru dalam dunia pendidikan.
Adapun datangnya ide-ide tersebut diantaranya berasal dari tokoh-tokoh filsafat
Yunani.[3]
Filsafat sebagai hasil pemikiran para ahli filsafat telah melahirkan
berbagai macam pandangan/ide yang salah satunya ialah lahirnya pandangan
tentang filsafat pendidikan. Begitu pula halnya dengan filsafat pendidikan
bahwa dalam sejarahnya telah melahirkan berbagai pandangan atau aliran.
Karena kesimpulan filsafat tidak pernah dapat titik ujung, maka setiap
keputusan atau kesimpulan yang diperoleh tidak pernah merupakan kesimpulan
final. Sebab itu, dunia percaturan filsafat (termasuk filsafat pendidikan)
seringkali hanya berkisar pada permasalahan-permasalahan yang sama, baik
sebagai suatu bentuk persetujuan ataupun penolakan terhadap kesimpulan yang
ada.
1. PROGRESSIVISME
Aliran
Progressivisme, progress (maju) adalah sebuah faham filsafat
yang lahir dan sangat berpengaruh dalam abad ke-20. Aliran filsafat ini
kelahiran Amerika dan pengaruhnya terasa di seluruh dunia yang mendorong usaha
pembaharuan di dalam lapangan pendidikan
Aliran ini bukan
merupakan bangunan filsafat atau aliran filsafat yang berdiri sendiri,
melainkan merupakan suatu gerakan dan perkumpulan yang didirikan pada tahun
1918. Aliran ini berpendapat bahwa pengetahuan yang benar pada masa kini
mungkin tidak benar di masa mendatang. Pendidikan harus terpusat pada anak
bukannya memfokuskan pada guru atau bidang muatan.[4]
Pada dasarnya aliran
ini memandang bahwa pendidikan adalah sebagai wadah untuk menjadikan anak didik
yang memiliki kualitas dan terus maju (progress) sebagai generasi yang akan
menjawab tantangan zaman peradaban baru. Melalui pandangannya ”The
Liberal Road Culture”, maksudnya ialah pandangan hidup yang mempunyai
sifat-sifat fleksibel, curious, toleran dan open-minded,
serta menolak segala otoritarisme dan absolutisme seperti yang terdapat dalam
agama, politik, etika dan epistemologi. Dan pandangannya tentang menaruh
kepercayaan terhadap kekuatan alamiah dari manusia yang diwarisi sejak lahir (men’s
natural powers), sehingga manusia merupakan makhluk biologis yang utuh dan
menghormati harkat dan martabat manusia sebagai pelaku/subyek di dalam
hidupnya. Dengan pandangan-pandangannya tersebut, aliran progressivisme
memiliki kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan, yang meliputi : ilmu hayat
(manusia untuk mengetahui semua masalah kehidupan), antropologi (manusia
mempunyai pengalaman, pencipta budaya, dengan demikian dapat mencari hal baru),
psikologi (manusia akan berpikir tentang dirinya sendiri, lingkungan dan
pengalaman-pengalamannya, dan dapat menguasai serta mengatur sifat-sifat alam).
Aliran ini menyadari dan mempraktekkan asas
eksperimen Aliran Progressivisme mengakui dan berusaha mengembangkan asas progresivisme dalam
semua realita kehidupan. Agar manusia bisa selamat menghadapi semua tantangan
hidup. Dinamakan “instrumentalisme”, karena aliran ini beranggapan bahwa kemampuan
inteligensi manusia sebagai alat untuk hidup, untuk kesejahteraan dan untuk
mengembangkan kepribadian manusia. Dinamakan “eksperimentalisme”, untuk menguji kebenaran suatu teori.
Dinamakan “environmentalisme”, karena aliran ini menganggap lingkungan hidup
itu mempengaruhi pembinaan kepribadian.
Aliran progresivisme memiliki kemajuan dalam
bidang ilmu pengetahuan meliputi ilmu hayat, antropologi, dan juga psikologi.
Adapun tokoh-tokoh aliran progresivisme ini, antara lain adalah William James,
John Dewey, Hans Vaihinger, Ferdinant Schiller, dan George Santayana.[5]
William James berkeyakinan bahwa otak atau
pikiran, seperti juga aspek dari eksistensi organik. Harus mempunyai fungsi
biologis dan nilai kelanjutan hidup. Dia menegaskan agar fungsi otak atau
pikiran itu dipelajari sebagai bagian dari mata pelajaran pokok dari ilmu
pengetahuan alam. Disini, James berusaha membebaskan ilmu jiwa dari prakonsepsi
teologis yang menemparkannya diatas dasar ilmu perilaku.
John dewey, ide filsafatnya yang utama berkisar
dalam problemapendidikan yang konkret,baik teori maupun praktek. Reputasi
internasionalnya terletak dalam sumbangan pemikirannya terhadap filsafat
pendidikan progresivisme Amerika. Menurut John S .Brubacher,filsafat progresivismebermuara
pada aliran filsafatpragmatisme yang diperkenalkan oleh William James dan John
Dewey,yang menitik beratkan pada segi manfaat bagi hidup praktis. Filsafat
progresivisme dipengaruhi oleh ide-ide dasar filsafat praghmatisme yang telah
memberikan konsep dasar asas yang utama,bahwa agar manusia bisa selamat
menghadapi semua tantangan hidup, manusia harus pragmatis memandang kehidupan.
Aliran filsafat progresivisme telah memberikan
sumbangan yang besar didunia pendidikan pada abad ini. Aliran ini telah
meletakkan dasar-dasar kemerdekaan dan kebebasan kepada anak didik.Anak didik diberikan kebebasan baik
secarafisik maupun cara berfikir,guna mengembangkan bakat dan kemampuan
yang terpendam didalam dirinya tanpa terhambat oleh rintangan-rintangan yang
dibuat oleh orang lain.
Untuk itu,sangat diperlukan kurikulum yang berpusat pada pengalaman atau
kurikulum eksperimental,yaitu kurikulum yang berpusat pada pengalaman yang telah
diperoleh anak didik selama disekolah dan dapat diterapkan dalam kehidupan
nyatanya. Dengan metode pendidikan “belajar sambil berbuat” (learning by
doing) dan pemecahan masalah(problem solving)dengan langkah-langkah
menghadapi problem,mengajukan hipotesis.
Progressivisme menghendaki jenis
kurikulum yang terbuka dan fleksibel, jadi kurikulum tersebut bisa dirubah dan
dibentuk sesuai dengan zamannya. Kurikulum dipusatkan pada pengalaman atau
kurikulum eksperimental didasarkan atas manusia dalam hidupnya selalu
berinteraksi di dalam lingkungan yang komplek, sehingga ia memerlukan kemampuan
beradaptasi dengan lingkungan demi kelestarian hidupnya dan perkembangan
pribadinya. Oleh karena itu manusia harus belajar dari pengalaman. Pengalaman-pengalaman
itu diperoleh sebagai akibat dari belajar. Anak didik yang belajar di sekolah
akan mendapatkan pengalaman-pengalaman dari lingkungan, di sekolah akan
mendapatkan pengalaman-pengalaman yang dapat diterapkan sesuai dengan kebutuhan
umum.
Aliran ini tidak menghendaki adanya mata pelajaran yang diberikan
secara terpisah, melainkan harus terintegrasi dalam unit. Dengan demikian
kurikulum eksperimental mengandung ciri integrated curriculum,
metode yang diutamakan yaitu metode problem solving.
John Dewey telah mengemukakan dan
menerapkan metode problem solving ke dalam proses pendidikan,
melakukan perubahan atau inovasi dari bentuk pengajaran tradisional di mana
adanya verbalisme pendidikan. Di sini anak didik dituntut untuk dapat
memfungsikan akal dan kecerdasannya dengan jalan dihadapkan pada materi-materi
pelajaran yang menantang siswa untuk terlibat aktif dalam proses belajar
mengajar. Siswa dituntut dapat berpikir ilmiah seperti menganalisa, melakukan
hipotesa dan menyimpulkannya dan penekanannya kepada kemampuan intelektualnya.
W.H. Kilpatrik (yang mengembangkan
metode problem solving) mengemukakan tentang kurikulum yang
dianggap baik terdiri dari :
·
Kurikulum harus dapat meningkatkan kualitas anak
didik sesuai dengan jenjang pendidikan.
·
Kurikulum yang dapat mengubah perilaku anak
didik menjadi kreatif, adaptif dan mandiri.
·
Kurikulum yang sanggup membina dan mengembangkan
potensi anak didik.
·
Kurikulum bersifat fleksibel dan berisi tentang
berbagai macam bidang studi.
Melalui proses pendidikan dengan
menggunakan kurikulum yang bersifat integrated curriculum,
metode “lerning by doing” dan metode “problem solving” diharapkan
anak didik menjadi maju (progress), mempunyai kecakapan praktis dan
dapat memecahkan masalah sosial sehari-hari dengan baik.[6]
2. ESSENSIALISME
Essensialisme berasal dari kata essensial yang berarti
sifat-sifat dasar atau dari kata esesnsi
(pokok).[7]Essensialisme
mempunyai pandangan bahwa pendidikan sebagai pemelihara kebudayaaan. Aliran ini
ingin kembali kepada kebudayaan lama, warisan sejarah yang telah membuktikan
kebaikan-kebaikan bagi kehidupan manusia.[8]
Aliran ini berpedoman pada peradaban
sejak zaman Renaissance. Pada zaman Renaissance telah berkembang dengan
megahnya usaha-usaha untuk menghidupkan kembali ilmu pengetahuan dan kesenian
serta kebudayaan purbakala, terutama di zaman Yunani dan Romawi. Dalam zaman
Renaissance muncul tahap-tahap pertama dari pemikiran essensialis yang
berkembang selanjutnya sepanjang perkembangan zaman Renaissance itu sendiri.
Pada zaman modern sekarang ini dikembangkan lagi oleh para pengikut dan
simpatisan ajaran aliran filsafat tersebut, sehingga menjadi aliran filsafat
yang teguh berdiri sendiri, yang mempunyai ciri-ciri utama yang berbeda dengan
aliran progressivisme.
Perbedannya yang utama adalah memberikan
dasar berpijak pada pendidikan yang penuh fleksibilitas, di mana serba terbuka
untuk perubahan, toleran dan tidak ada keterkaitan dengan doktrin tertentu.
Essensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang
memilki kejelasan dan tahan lama, yang memberikan kestabilan dan nilai-nilai
terpilih yang tertata dan jelas.
Paham filsafat idealisme Plato dan paham
filsafat idealisme Aristoteles adalah dua aliran pikiran yang membentuk
konsep-konsep berpikir golongan essensialisme. Jadi pandangan filsafat
essensialisme meramu dan menampung kedua aliran filsafat itu (tetapi tidak
lebur jadi satu dan tidak melepaskan sifat yang utama pada masing-masing), yang
kemudian mereka terapkan pula dalam bidang pendidikan.
Essensialisme didasari atas pandangan
humanisme yang merupakan reaksi terhadap hidup yang mengarah keduniawian, serba
ilmiah dan materialistik. Selain itu juga diwarnai oleh pandangan-pandangan
dari paham penganut idealisme yang bersifat spiritual dan realisme yang titik
berat tujuannya adalah mengenai alam dan dunia fisik. Adapun beberapa tokoh
utama yang berperan dalam penyebaran essensialisme, yaitu :
·
Desiderius Erasmus (akhir abad 15)
·
Johan Amos Comenius (1592-1670)
·
John Locke (1632-1704)
·
Johan Heinrich Pestalozzi (1746-1827)
·
Johan Friedrich Frobel (1782-1852)
·
Johan Friedrich Herbert (1776-1841)
·
William T. Harris (1835-1909).[9]
Pada tahun 1930 telah didirikan suatu organisasi
bernama “Essentialists Committee for Advancement of Education”, dalam rangka
mempertahankan paham essensialisme, khususnya dari persaingan dengan aliran
progressivisme. Dan pada tahun 1950-an, di Amerika didirikan sebuah organisasi
yang disebut dengan dewan untuk pendidikan dasar (council for basic education)
yang merupakan jawaban terhadap apa yang dirasakan oleh sebagian para ahli
pendidikan, dengan adanya kecurangan-kecurangan yang terjadi berangsur-angsur
dalam tubuh pendidikan Amerika, disebabkan timbulnya yang disebut “peniddikan
progressive”.
Tujuan umum aliran progressivisme adalah
membentuk pribadi bahagia dunia dan akhirat. Isi pendidikannya mencakup ilmu
pengetahuan, kesenian dan segala hal yang mempu menggerakkan kehendak manusia.
Kurikulum yang digunakan di sekolah bagi essensialisme merupakan semacam miniatur
dunia yang bisa dijadikan sebagai ukuran kenyataan, kebenaran dan kegunaan.
Maka dalam sejarah perkembangannya, kurikulum essensialisme merupakan bagian
pola kurikulum, seperti pola idealisme. Butler mengemukakan bahwa sejumlah anak
untuk setiap angkatan baru haruslah dididik untuk mengetahui dan mengagumi
kitab suci, sedangkan Demih Kevich menghendaki agar kurikulum berisikan
moralitas yang tinggi. Ataupun pola kurikulum realisme, yang mengumpamakan
kurikulum sebagai balok-balok yang disusun dengan teratur satu sama lain yaitu
disusun dari paling sederhana sampai kepada yang komplek. Susunan ini dapat
diutarakan ibarat sebagai susunan dari alam, yang sederhana merupakan fundamen
atau dasar dari susunannya yang paling komplek. Jadi bila kurikulum disusun atas
dasar pikiran yang demikian akan bersifat harmonis. Dengan demikian, peranan
sekolah dalam menyelenggarakan pendidikan bisa berfungsi sesuai dengan
prinsip-prinsip dan kenyataan sosial yang ada di masyarakat.
Menurut Essensialisme pendidikan harus didasarkan pada nilai-nilai
kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia, kebudayaan yang
mereka wariskan kepada kita hingga sekarang telah teruji oleh segala zaman,
kondisi dan sejarah. Kebudayaan yang demikian adalah esensi yang mampu pula mengemban
hari kini dan masa depan umat manusia. Kebudayaan sumber itu tersimpul dalam
ajaran para filosof, ahli-ahli pengetahuan yang besar, yang ajaran dan
nilai-nilai ilmu mereka bersifat menetap.
Menurut essensialisme kebudayaan modern sekarang terdapat kesalahan,
yaitu kecendrungannya, bahkan gejala-gejala penyimpangannya dari jalan lurus
yang telah ditanamkan kebudayaan warisan. Fenomena-fenomena sosial-kultural
yang tidak kita inginkan sekarang, hanya dapat diatasi dengan kembali secara
sadar melalui pendidikan, yaitu kembali kejalan yang telah ditetapakan itu,
dalam hal pendidikan oleh essensialisme menyebutkan “Education as cultural
conservation”.
Adapun para pemikir basar yang telah dianggap sebagai peletak dasar
asas-asas filsafat aliran ini, terutama yang hidup pada zaman klasik ; Plato, Aristoteles, Demakritos. Plato sebagai bapak obyektive idealisme
dan juga sebagai peletak dasar teori modern dalam essensialisme. Sedangkan
Aristoteles dan Demokritus, keduanya bapak obyektive realisme. Kedua ide itulah
yang menjadi latar belakang thesis-thesis essensialisme.
3. PERENIALISME
Perennialisme diambil dari kata perennial,
yang artinya kekal atau abadi. Dari makna yang terkandung dalam kata itu,
aliran perennialisme mengandung kepercayaan filasafat yang berpegang pada
nilai-nilai dan norma-norma yang bersifat kekal abadi. Aliran filsafat ini
termasuk pendukung yang kuat dari filsafat essensialisme. Pendiri utama dari
filsafat ini adalah Aristoteles yang
kemudian didukung dan dilanjutkan oleh Thomas Aquinas, sebagai reformer utama
pada abad ke-13.
Dengan melihat kehidupan zaman modern
telah menimbulkan banyak krisis, di bidang kehidupan umat manusia. Untuk
mengatasi krisis ini, perennialisme memberikan jalan keluar berupa “regressive
road to culture”. Oleh sebab itu perennialisme memandang penting peranan
pendidikan dalam proses mengembalikan keadaan manusia zaman modern ini kepada
kebudayaan masa lampau yang dianggap cukup ideal, untuk supaya sikap yang
membanggakan kesuksesan dan memulihkan kepercayaan pada nilai-nilai asasi masa
silam.
Asas-asas filsafat perennialisme bersumber
pada dua filsafat kebudayaan, yaitu perennialisme theologis, yang ada dalam
pengayoman supremasi gereja Katolik, khususnya menurut ajaran dan interpretasi
Thomas Aquinas, dan perennialisme sekuler, yakni yang berpegang teguh pada ide
dan cita filosofis Plato dan Aristoteles.
Pandangan-pandangan Thomas Aquinas sangat berpengaruh
dalam lingkungan gereja Katolik. Demikian pula dalam pandangan-pandangan
aksiomatis lain seperti yang diutarakan oleh Plato dan Aristoteles. Selain itu
juga semuanya mendasari konsep filsafat pendidikan perennialisme.
Di bidang pendidikan, perennialisme sangat dipengaruhi
oleh tokoh-tokohnya seperti Plato, Aristoteles dan Thomas Aquinas. Dalam hal
ini, pokok pikiran Plato tentang ilmu pengetahuan dan nilai-nilai adalah
menifestasi daripada hukum yang universal, yang abadi dan sempurna, yakni
ideal. Sehingga ketertiban sosial hanya akan mungkin bila ide itu menjadi
ukuran, asas normatif dalam tata pemerintahan. Maka tujuan utama pendidikan
ialah membina pemimpin yang sadar dan mempraktekkan asas-asas yang normatif itu
dalam semua aspek kehidupan.
Menurut Plato, manusia secara kodrati memiliki tiga
potensi, yaitu nafsu, kemauan dan pikiran. Pendidikan hendaknya berorientasi
pada ketiga potensi tersebut dan kepada masyarakat, agar supaya kebutuhan yang
ada pada setiap lapisan masyarakat bisa terpenuhi. Ide-ide Plato itu
dikembangkan oleh Aristoteles dengan lebih mendekatkan pada dunia kenyataan.
Bagi Aristoteles tujuan pendidikan adalah kebahagiaan.
Untuk mencapai pendidikan itu, maka aspek jasmani,
emosi, dan intelek harus dikembangkan secara seimbang.
Seperti halnya prinsip-prinsip Plato dan Aristoteles,
tujuan pendidikan yang dikehendaki Thomas Aquinas adalah sebagai usaha untuk
mewujudkan kapasitas yang ada dalam individu agar menjadi aktivitas, aktif dan
nyata. Dalam hal ini peranan guru adalah mengajar (memberi bantuan pada anak
didik untuk mengembangkan potensi-potensi yang ada pada diri anak didik).
Prinsip-prinsip pendidikan perennialisme tersebut,
perkembangannya telah mempengaruhi sistem pendidikan modern, seperti pembagian
kurikulum untuk sekolah dasar, menengah, perguruan tinggi dan pendidikan orang
dewasa.
Perenialisme merupakan suatu aliran dalam
pendidikan yang lahir pada abad ke 20.[10]
Perenialisme lahir sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Mereka
menentang pandangan progresivisme yang menekankan perubahan dan sesuatu yang
baru. Perenialisme memandang situasi dunia dewasa ini penuh kekacauan,
ketidakpastian, dan ketidakteraturan, terutama dalam kehidupan moral,
intelektual dan sosio kultual. Oleh karena itu perlu ada usaha untuk
mengamankan ketidakberesan tersebut, yaitu dengan jalan menggunakan kembali
nilai-nilai atau prinsip-prinsip umum yang telah menjadi pandangan hidup yang
kukuh, kuat dan teruji.,
Perenialisme memandang bahwa pendidikan harus didasari nilai-nilai
kultural masa lampau (regresive road the cultural) oleh karena kehidupan modern
saat sekarang banyak menimbulkan krisis dalam banyak bidang kehidupan. Masa
lampau, terutama zaman abad pertengahan Eropa telah membuktikan keefektivan
nilai-nilai ynag diamalkan dalam kehidupan. Nilai tersebut ternyata cukup
ideal, tangguh dan teruji keberhasilannya dalam kehidupan manusia.
Watak umum perenialisme tersimpul dalam makna istilah yang menjadi nama
aliran ini. Istilah “perenial” berarti “Everlasting” atau abadi.
Kepercayaan filsafat perenialisme ialah nilai-nilai, norma-norma yang bersifat
kekal abadi, bahkan keabadian, bahkan keabadian itu sendiri. Perenialisme
mengambil analogi realita sosial budaya manusia, seperti realita sepohon bunga.
Pohon bunga ini akan berguna musim demi musim, datang dan pergi secara tetap
sepanjang tahun dan masa. Demikianlah pola perkembangan kebudayaan manusia,
abad demi abad, era demi era, bahkan untuk selama-lamanya akan tetap mengulangi
apa yang pernah dialaminya. Untuk perlu kembali kepada asas kebudayaan silam
yang abadi itu.
4. REKONSTRUKSIONISME
Kata rekonstruksionisme dalam bahasa
Inggris “rekonstruct”, yang berarti menyusun kembali. Dalam konteks
pendidikan, aliran ini adalah suatu aliran yangberusaha merombak tata susunan
lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern.
Merupakan kelanjutan dari gerakan
progresivisme. Gerakan ini lahir didasarkan atas suatu anggapan bahwa kaum
progresif hanya memikirkan dan melibatkan diri dengan masalah-masalah
masyarakat yang ada sekarang. Rekonstruksionisme dipelopori oleh George Count dan Harold Rugg pada tahun 1930, ingin membangun masyarakat baru,
masyarakat yang pantas dan adil.
Aliran rekonstruksionisme dalam satu prinsip sependapat dengan
perenialisme. Tetapi aliran rekontrusionisme tidak sependapat dengan cara yang
ditempuh filsafat perenialisme. Rekonstruksionisme berusaha membina suatu
konsensus yang paling luas dan paling mungkin tentang tujuan utama dan
tertinggi dalam kehidupan manusia.
Rekonstruksionisme berusaha mencari kesempatan semua orang tentang
tujuan utama yang dapat mengatur tata kehidupan manusia dalam suatu tata
susunan baru seluruh lingkungannya. Dengan kata lain, rekonstruksionisme ingin
merombak tata susunan yang lama, dan membangun tata susunan hidup kebudayaan
yang sama sekali baru, melalui lembaga dan proses pendidikan.[11]
Tujuan ini hanya mungkin diwujudkan melalui usaha kerja sama, kerja sama
semua bangsa-bangsa, penganut aliran ini yakni bahwa telah tumbuh kesadaran dan
konsensus seperti dimaksud diseluruh dunia. Mereka percaya bahwa telah ada
hasrat yang sama dari bangsa-bangsa tentang cita-cita yang tersimpul dalam ide
rekonstruksionisme.
Aliran rekonstruksionisme berkeyakinan
bahwa tugas penyelamatan dunia merupakan tugas semua umat manusia atau bangsa.
Karenanya pembinaan kembali daya intelektual dan spiritual yang sehat akan
membina kembali manusia melalui pendidikan yang tepat atas nilai dan norma yang
benar pula demi generasi sekarang dan yang akan datang, sehingga terbentuk
dunia baru dalam pengawasan umat manusia.
Kemudian aliran ini memiliki potensi bahwa
masa depan suatu bangsa merupakan suatu dunia yang diatur, diperintah oelh
rakyat secara demokratis dan bukan dunia yang dikuasai oleh golongan tertentu.
Cita-cita demokrasi yang sungguh bukan hanya sekedar teori tetapi harus menjadi
kenyataan, sehingga dapat diwujudkan suatu dunia dengan potensi-potensi
teknologi, mampu meningkatkan kualitas kesehatan, kesejahteraan dan kemakmuran
serta keamanan masyarakat tanpa membedakan warna kulit, keturunan, nasionalisme
dan agama (kepercayaan).
BAB III
KESIMPULAN
Filsafat sebagai hasil pemikiran para ahli filsafat telah melahirkan
berbagai macam pandangan/ide yang diantaranya ialah lahirnya pandangan tentang
filsafat pendidikan. Begitu pula halnya dengan filsafat pendidikan, bahwa dalam
sejarahnya telah melahirkan berbagai pandangan atau aliran.
Karena kesimpulan filsafat tidak pernah ditemui titik ujung, maka setiap
keputusan atau kesimpulan yang diperoleh tidak pernah merupakan kesimpulan
final. Diantara pandangan pokok tentang pendidikan menurut aliran-aliran
pendidikan, yaitu :
1. Progressivisme,
memandang bahwa dengan proses pendidikan yang menggunakan integrated
curriculum, metodelearning by doing dan problem solving,
diharapkan anak didik menjadi maju (progress), mempunyai kecakapan
praktis dan dapat memcahkan masalah sosial sehari-hari dengan baik.
2. Essensialisme,
memandang bahwa pendidikan adalah proses membentuk pribadi bahagia dunia dan
akhirat. Maka dalam sejarahnya, kurikulum yang digunakan oleh essensialisme
adalah pola kurikulum idealisme dan realisme. Dengan pola kurikulum seperti
ini, diharapkan peranan sekolah dalam menyelenggarakan pendidikan bisa
berfungsi sesuai dengan prinsip-prinsip dan kenyataan sosial yang ada di
masyarakat.
3. Perennialisme,
memandang bahwa tujuan pendidikan adalah sebagai usaha mewujudkan kapasitas
yang ada dalam individu agar menjadi aktualitas, aktif dan nyata.
Prinsip-prinsip pendidikan perennialisme telah mempengaruhi sistem pendidikan
modern, seperti pembagian kurikulum untuk sekolah dasar, menengah dan perguruan
tinggi.
4. Rekonstruksionisme,
memandang bahwa tujuan pendidikan adalah untuk merombak tata susunan kebudayaan
lama dan membangun tata hidup kebudayaan yang baru, melalui pembinaan daya
intelektual dan spiritual yang sehat akan membina kembali manusia dengan
pendidikan yang tepat atas nilai dan norma yang benar demi generasi sekarang
dan yang akan datang, sehingga terbentuk dunia baru dalam pengawasan umat
manusia.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah Idi dan
Jalaluddin, Filsafat
PendidikanManusia, Ar-Ruzz Media.Jogjakarta : 2007.
Abdullah dan
Jalaluddin. Filsafat Pendidikan, Gaya Media Pratama,
Jakarta: 1997.
Amsal, Amri, Study Filsafat Pendidikan, Yayasan Pena, Banda Aceh : 2009.
A. Wiramihardja, Sutardjo,
Pengantar Filsafat, Rafika Aditama , Bandung : 2006.
Hamdani Ali, MA. Filsafat
Pendidikan, Kota Kembang, Yogyakarta: 1986.
Hasan Shadily dan
M. Echols John,Kampus
Inggris-Indonesia, Gramedia, Jakarta : 1983.
Zuhairini,
Filsafat Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta: 1995.
[1]Hamdani
Ali, MA. Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta :Kota Kembang,: 1986)
hlm. 72
[2]Abdullah
dan Jalaluddin. Filsafat Pendidikan, (Jakarta
Gaya :Media Pratama 1997) hlm. 102
[3]Zuhairini, Filsafat
Pendidikan Islam,(Jakarta:Bumi Aksara, 1995) hlm. 47
[4]Amsal,
Amri, Study Filsafat Pendidikan, (Banda
Aceh : Yayasan Pena, 2009) hlm. 76
[5]Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat
Pendidikan : Manusia, Filsafat dan Pendidikan, (Jogjakarta, Ar-Ruzz Media, 2007) hlm. 85.
[9]Hamdani
Ali, MA. Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta:
Kota Kembang, 1986) hlm 86.
[10]Amsal,
Amri, Study Filsafat Pendidikan, (Banda
Aceh: Yayasan Pena, 2009) hlm 78
Tidak ada komentar:
Posting Komentar